Someday I will leave you / When I’ve had enough of your beauty ~
Sepenggal lirik dari lagu berjudul A Thousand Eyes ini seketika membuat saya agak merenung. Karena apa, mungkin karena saya merasa sedikit relate dengan si penulis sekaligus penyanyinya (Sarah Kang), bahwa tak menutup kemungkinan suatu saat kita—setidaknya saya—bakal meninggalkan kota besar ini, tempat kita mengupayakan mimpi selama dan sejauh yang kita bisa. Kalau Sarah Kang bercerita tentang New York, saya berbicara tentang Jakarta, kota yang saya tinggali saat ini.
Situasi pandemi ini membuat banyak orang cemas. Saya apalagi. Yang emang biasanya cenderung mencemaskan sesuatu, jadi bertambah level kecemasannya. Pandemi menjadikan mimpi buruk kian nyata bagi semua orang. Banyak perusahaan harus tutup atau harus me-lay off pekerjanya karena terus menerus rugi.
Saya bersyukur masih bisa terus bekerja sampai sekarang meskipun perusahaan tempat saya bekerja juga tak ketinggalan kena imbas pandemi. Sejak awal, waktu corona ini baru mewabah, saya bisa mencium kalau kasus ini tak akan bisa selesai dalam tiga atau empat bulan. Karenanya, pun saya sudah membayangkan skenario terburuknya.
Akankah perusahaan saya mampu bertahan? Akankah saya menjadi salah satu yang kena lay off? Lalu bisakah segera mendapat pekerjaan baru dan terus melanjutkan hidup di Jakarta begitu saya kehilangan pekerjaan. Mengingat hanya sedikit opsi yang saya miliki, karena latar belakang pendidikan yang tidak wah serta skill yang—setidaknya menurut saya—belum terlalu stand out.
Memang dalam hal ini saya terlalu keras menilai diri sendiri. Padahal teman baik saya pernah bilang, ia percaya pada kemampuan saya. Saya cuma nggak bisa mengelak kenyataan bahwa pasti selalu ada orang yang lebih punya prestis dari saya. Dan kalau kebetulan saya harus berkompetisi dengan mereka untuk pekerjaan yang sama, tentu sayalah yang akan tersingkir. Hehe the art of pessimism—or is it just my insecurity?
Sebetulnya saya tidak mau pesimis-pesimis banget. Saya mengingat kembali apa niat saya datang ke Jakarta. Kalau saya ingat itu, saya nggak patah semangat lagi. Lalu mengusahakan yang terbaik terhadap apa yang ada di depan mata.
Lagu A Thousand Eyes ini pun membawa nuance yang seolah-olah mengatakan pada saya, “lakukanlah apa yang bisa dilakukan sekarang.” Kelak kau mungkin akan pergi setelah puas atau setidaknya cukup dengan ‘kecantikan’ yang ditawarkan kota ini, atau malah tak akan pergi karena kau mulai mencintai ‘kecantikan’-nya.
Maybe I will never leave you / When I’m in love with your beauty ~
Saya melihat kecantikan Jakarta sebagai segala ritme yang membuatnya tetap bergerak. Yang membuat orang-orang tetap bangun pagi, memulai hari, mengejar mimpi. Bekerja untuk suatu harapan yang baik.
Tapi omong-omong pendeskripsian ini rasanya belum cukup dan terkesan dangkal. Saya menyadari, rupanya saya belum terlalu mengenal Jakarta. Selama hampir dua tahun tinggal di sini, sudahkah saya menengok tiap sudut Jakarta? Berapa orang betawi di sini yang sudah saya kenal? Sekuat apa saya menjalin pertemanan dengan warga sekitar? Apa saja yang membentuk identitas setiap wilayahnya. To be precise, sejauh apa saya memahami Jakarta dan orang-orangnya?
Pertanyaan-pertanyaan itu mendadak meliputi saya. Rasanya waktu cepat sekali berlalu, sementara saya belum berbuat banyak.
Saya kemudian membandingkan diri dengan bagaimana orang tua saya dulu lebih berbaur dengan warga sekitar. Kami dulu mengontrak sepetak ruang di daerah Tangerang. Orang tua saya bekerja sebagai buruh pabrik bersama beberapa saudara Ayah saya. Bahkan paman dan bibi saya itu menemukan Jodohnya di perantauan Jakarta ini.
Sejauh yang saya ingat, kualitas bertetangga mereka lebih baik ketimbang saya di masa ini. Bahkan sampai sekarang pun, Ayah saya dan mantan landlord-nya dulu masih berkomunikasi walau tidak sering. Mereka masih mengingat inside jokes satu sama lain ketika mengobrol. Mungkin karena dulu internet belum jadi bagian kita sehari-hari. Jadi lebih banyak waktu mengobrol tatap muka dengan cara saling berkunjung. Rasanya lebih seru, jika melihatnya dari masa kini.
Kalau sudah begini, rasa-rasanya saya belum rela jika harus meninggalkan Jakarta. Saya ingin tahu lebih banyak tentang kota ini. Sedikit berselancar tentang Jakarta di internet, blog ini membuat saya makin ingin tinggal lebih lama lagi di kota ini. Sang pemilik blog bilang:
“Jakarta itu paradoks yang menarik. Tak bisa sepenuhnya dibenci, tapi juga tak bisa seutuhnya dicinta. Semacam nyebelin tapi ngangenin,”
Itu melintaskan sederetan memori di kepala saya. Rutinitas tiap pagi: mengunci pintu kos, berjalan kaki ke stasiun. Naik kereta menuju kantor di jalan Sudirman. Di stasiun, saya bisa melihat banyak rupa manusia beserta hal-hal yang dikerjakannya. Kakek penjual roti dengan semangat menawarkan sarapan pada setiap yang lewat, petugas kebersihan, penjual koran, sopir angkot dan bajai, pemulung, silver man, ondel-ondel di malam hari dan masih banyak lagi yang bisa kita lihat di sekitar stasiun. Kita bisa mengatakan seribu satu macam profesi ada di Jakarta.
Melihat mereka tiap hari, justru memompa semangat saya untuk melewati hari dengan baik. Meski mungkin banyak pelik yang membuat kita kesal pada hidup ini, pada kota ini, mereka saja masih terus berupaya, mengapa saya harus menyerah? (kalau memang belum waktunya). Bukankah memang sejauh yang kita tahu, Jakarta adalah tempat urusan-urusan penting dan peluang-peluang terbaik berada?
Menurutmu Jakarta itu bagaimana?
Jakarta, 1 November 2020
with love
Sofia
***
———————————————————————
Featured Photo by Hilman Luthfi on Unsplash
Leave a comment