Saya membaca buku ini tiga tahun yang lalu. Sejak pertama kali melihat sampulnya, I had no idea what this novel would bring. Tapi dari banyaknya buku ini berkeliaran di feeds instagram dengan tagar khasnya #bookstagram saya berkesimpulan: sepertinya karya kedua dari Jandy Nelson ini sedang banyak digemari saat itu.
Sebelum saya memutuskan untuk membelinya saya tidak sempat membaca satu pun review tentang novel karya penulis yang pernah meraih penghargaan Michael L. Printz Award dan Stonewall Honor untuk karyanya yang satu ini. Hanya saja dengan membaca caption-caption singkat berisi kutipan dari novelnya sendiri, lumayan membuat saya tertarik.
Sepintas saya jadi tahu bahwa buku ini tentang remaja kembar yang berkonflik (konfilknya saya tidak tau persis tentang apa) satu sama lain, dan katanya juga novel ini lebih mengangkat tema keluarga. “Oh, wow.” Saya refleks ber-wow ria seperti itu. Alasannya karena saya termasuk yang juga menyukai cerita-cerita bertema keluarga. Mungkin karena saya berlatar-belakang dari keluarga yang pernah broken—dulunya. Jadi saya selau tertarik mendalami hal-hal yang berkaitan dengan keluarga, dengan setiap permasalahan yang ada di dalamnya. Ini bukan curhat wkwk
Membaca halaman pertama novel ini sedikit membuat saya kesulitan memahami apa yang terjadi karena saya belum terbiasa dengan kosakata yang digunakan penulis. Terlebih edisi yang saya baca adalah versi inggrisnya karena belum ada versi Indonesia.

Tidak seperti saat saya membaca Aristotle and Dante Discover the Secrets of the Universe (review menyusul) yang juga versi inggris yang saya sangat mengalir membacanya, dalam novel yang sebentar lagi dijadikan film oleh pihak Warner Bros ini seringkali muncul kata-kata yang belum pernah saya temui, dan akhirnya membuat saya terpaksa sesekali membuka kamus ponsel Merriam Webster. Which is ini juga menyenangkan bagi saya karena perbendaharaan kata bahasa inggris saya jadi bertambah banyak.
Apa yang menarik dan unik bagi saya dalam novel ini adalah sudut pandang penceritanya. Plotnya dibentuk dengan sudut pandang Noah (laki-laki) saat berumur 13 tahun dan kembarannya Jude (perempuan) saat berumur 16 tahun.
Berlatar di sebuah hutan dekat tebing pantai di California, Noah mengawali cerita dengan dirinya yang berhasil disekap oleh Zephyr dan Fry, anak kelas sepuluh yang merupakan tetangganya juga—ia sendiri masih kelas tujuh—di tengah usahanya kabur dari kejaran mereka. Sketchpad miliknya direbut oleh Fry, sementara badannya dalam posisi telungkup ditindihi Zephyr yang kemudian mengunci kedua tangan Noah dari belakang. Fry merobek satu demi satu sketsa yang berada di tangannya.
Setelah akhirnya berhasil meloloskan diri dan merebut kembali sketsanya, ia melewati sungai dan menemukan sebuah gua yang mana tempat yang bagus menurutnya untuk memperhatikan matahari terbenam dan duduk bersandar di sana. Ia kemudian mewarnai satu halaman penuh sketchpad-nya dengan warna hitam. Satu halaman penuh. Judulnya “Boy Inside a Box of Darkness”.
Noah seorang yang introvert, berbeda dengan Jude yang easy-going, bahkan kerap kali melindungi Noah, sementara Noah tak bisa melindungi diri sendiri. Tapi ia jenius dalam hal seni rupa. Khususnya ia sangat suka membuat sketsa dan melukis. Ayahnya menjulukinya broken umbrella karena ia tidak bagus dalam hal bela diri. Dalam pikirannya, Ayah lebih menyayangi Jude daripada dirinya.
Gaya bertutur Noah jujur saja seperti membentuk lukisan-lukisan abstrak tersendiri di dalam kepala saya karena dipenuhi dengan metafora. Noah sendiri memiliki kebiasaan unik yaitu melukis di dalam kepalanya sendiri. Di tengah-tengah penuturannya kerap kali ia menyebutkan sebuah potret/lukisan yang tercipta dengan sendirinya—tentu saja ini hanya terjadi dalam kepalanya—dan memiliki hubungan dengan apa yang terjadi atau ia rasakan saat itu juga. Dan mengenai kebiasaannya ini, tidak ada satu orang pun yang tahu, tidak juga Jude.

Suatu kali saat sekeluarga berkumpul untuk makan malam, Dianna Sweetwine (Ibu Noah dan Jude) tiba-tiba mengumumkan bahwa ia membawa pesan dari arwah Grandma Sweetwine (Nenek) untuk Noah dan Jude. Ia menceritakan, saat ia melewati CSA (California School of Arts), Grandma tiba-tiba muncul sepintas dan mengatakan: “what an absolutely perfect fit it would be for Noah and Jude”.
Bagi Dianna yang idealis dan gila akan seni—Benjamin (Ayah) menyebutnya sebagai “seni adalah agama bagi Dianna” secara sarkas—hal ini seperti pertanda yang kuat baginya untuk harus menyekolahkan Noah dan Jude ke CSA. Sementara Sang Ayah, A Man of Science (kata Noah), yang dalam hal apapun sangat rasional kerap kali berselisisih pendapat dengan istrinya. Yang kemudian menyebabkan konflik di antara mereka.
Termasuk masalah CSA ini. Menurut benjamin, Dianna hanya sedang memproyeksikan mimpi lamanya kepada Noah dan Jude. Di tengah perdebatan mereka, keputusan telah diambil sepihak oleh Dianna bahwa anaknya harus masuk CSA dan mempersiapkan tahun-tahun berikutnya untuk Noah dan Jude berlatih agar berhasil diterima di CSA.
Mulai besoknya, Dianna semacam membuat kontes melukis bagi Noah dan Jude. Mereka melakukannya di sebuah museum galeri seni. Hal ini kemudian menciptakan rasa persaingan di antara dua bersaudara tersebut. Sejujurnya Jude meskipun ada secuil darah seni dalam dirinya yang tidak dia sadari, ia menentang keputusan Ibunya. Ia ingin sekolah di sekolah normal seperti anak lainnya. CSA baginya adalah California School of Aliens. Namun tetap saja umur 13 belas tahun adalah saat dimana ia sesungguhnya tidak tahu apa yang terbaik baginya, dan berakhir dengan mengikuti instruksi ibunya. Noah? It goes without saying that he definitely wanna in.
Selanjutnya saya dibawa pada bab dimana Jude (16 tahun) pada tahun keduanya di CSA, sedang berdiri di samping patung tanah liat karyanya menghadapi berbagai kritik pedas dari ‘kru tanah liat’—sebutan untuk siswa jurusan seni tanah liat—tahun kedua dan Sandy Ellis, sang master keramik, instruktur tanah liat sekaligus penasihatnya.
Tugas yang sebenarnya adalah membuat karya tanah liat yang mencerminkan potret diri. Karya Jude adalah abstrak: suatu gumpalan tak berbentuk yang ia beri judul Broken Me-Blob No. 8
Nomor delapan karena ini karya ke-delapannya yang selalu pecah setelah proses pengapian. Ia beranggapan bahwa hantu Ibunyalah—Ibunya ternyata sudah meninggal saat itu—yang menjatuhkan semua patung tanah liatnya. Dan ia bertanya-tanya dengan kesal dan dongkol mengapa Ibu sejahat itu? ia menyangka bahwa mungkin Ibu marah karena Noah tidak berhasil masuk CSA.
Dari sudut pandang Jude saat mereka berumur 16 tahun ini saya bisa menangkap bahwa keadaan menjadi berbalik seratus delapan puluh derajat dari apa yang Noah ceritakan tiga tahun lalu. Yang dulunya Noah terasing, kini Jude yang mengisolasi diri dari dunia luar. Hubungannya dengan Noah pun sangat-sangat renggang, tidak sedekat dulu yang bahkan bisa membaca pikiran masing-masing.
Jude selalu merasa seperti… life had dealt her a bad card. Semacam memiliki hipokondria akut dan merasa satu-satunya teman yang ia miliki hanyalah pigmen dari imajinasinya, termasuk Grandma Sweetwine. Ia mengaku mulai bisa melihat Grandma dan bercakap dengannya setelah Ibunya meninggal. Lebih klenik kesannya si Jude ini. Percaya banget dengan ‘bibble’ (bukan Bibble) warisan neneknya yang berisi ayat-ayat semacam:
A person in possession of a four-leaf clover is able to thwart all sinister influences (seseorang yang menyimpan clover berdaun empat dapat menghalangi semua pengaruh jahat)
To avoid serious illness, keep an onion in your pocket (untuk menghindari penyakit serius, simpanlah bawang putih dalam kantongmu)
Noah menyebut bibble ini sebagai: an enermous leather bound book stuffed with batshit idea (a.k.a hogwash). LOL
Well, membaca I’ll Give You the Sun ini seperti menyusun puzzle: apa yang terjadi pada selang waktu tiga tahun yang membuat keadaan mereka berbalik 180 derajat. Dengan semua kesalahan-kesalahan dan rahasia yang (ayah, ibu, anak, dan dua pemeran tambahan yang juga penting dalam membentuk plot-twist cerita ini) mereka simpan satu sama lain.
Di tengah-tengah saya mendapati diri saya berkaca-kaca karena merasa relate dengan kesedihan yang Noah/Jude rasakan terkait dengan masalah keluarga mereka.
Novel ini mengajarkan saya tentang kesempatan kedua. Bahwa kita manusia dengan segala kerusakan yang kita alami dan perbuat dalam hidup. Kesalahan-kesalahan yang sudah terjadi, masih ada kesempatan untuk memperbaikinya. To remake the world.
“We are remaking the world, nothing less. Even God, He have to make the world twice. He makes the first world, decide it is a very terrible world He made, so He destroy with the flood. Then He try again, start it all over”
And this quote is my favorite one:
“Or maybe a person is just made up of a lot of people, maybe we’re accumulating these new selves all the time. Hauling them in as we make choices, good and bad, as we screw up, step up, lose our minds, find our minds, fall apart, fall in love, as we grieve, grow, retreat from the world, dive into the world, as we make things, as we break things.”
Featured image: biblioaddicts
Leave a Reply